Thursday, August 25, 2011

Mencintai dengan Cerdas

I know that Indonesia & Japan had a bad history in the past. Tapi masihkah kita mengungkit-ungkit kejadian masa lalu, kemudian menyalahkan orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dengan kejadian masa lalu? We'll keep the memories how cruel the war was. And we'll keep going to struggle for any one who become victim of the war.

Saya menyukai Jepang entah sejak kapan. Mungkin juga karena sejak kecil saya dipanggil Oshin oleh keluarga saya karena mata saya sipit dan kulit saya cenderung lebih pucat dibanding saudara-saudara saya yang lain. Nama Oshin akhirnya saya pakai untuk menamai brand usaha saya, jadi bukan karena saya maniak drama Oshin sehingga saya menamai usaha saya menjadi Simply Oshin. Selepas masa SMA dulu, saya kemudian mengambil jurusan Sastra Jepang di UGM. Kecintaan saya terhadap negeri sakura terbayar ketika saya lolos UMPTN dan masuk ke jurusan yang saya idam-idamkan. Banyak sebaya saya yang juga cinta mati dengan Jepang. Sampai-sampai mereka mengubah nama panggilan mereka dengan nama yang nJepang ;p. Untung saja saya tidak seperti mereka. Kecintaan saya terhadap Jepang (terutama budayanya) tergolong normal-normal saja. Banyak yang menduga alasan saya suka Jepang adalah animenya, atau manga (komik)nya. Ya, itu adalah salah satunya. Saya suka Jepang karena kimononya, karena bangunan-bangunan tuanya, karena budaya minum tehnya, karena ornamen-ornamen yang menghiasi seluruh benda seninya, karena craftmanshipnya, dan ketika akhir-akhir ini saya ikut mengamati hobi suami yang suka akan seni beladiri terutama kenjutsu (seni pedang), saya benar-benar cinta akan kefokusan dan kesungguhan mereka ketika mengerjakan sesuatu. Dan bisa ditebak, kenapa banyak orang Jepang benar-benar ahli di bidangnya. Itulah mengapa banyak orang Indonesia yang jatuh cinta kepada Jepang.

Tapi, akhir-akhir ini pula saya mendapati kecintaan yang berlebihan. Pada suatu acara festival Jepang yang pernah saya datangi, banyak orang Indonesia beranggapan bahwa semua orang Jepang tahu dan paham dengan seluruh budayanya, termasuk keseniannya. Terus terang saya heran karena sudah ada beberapa orang Jepang yang saya temui mengakui bahwa tidak semua orang Jepang yang paham betul tentang budayanya, seperti kitalah, orang Indonesia tetapi tidak tahu budaya sendiri, akhirnya diaku oleh negara lain (ups ;p). Bahkan di salah satu mata kuliah budaya, dosen saya yang berasal dari Jepang mengatakan bahwa tidak semua orang Jepang dapat memegang ohashi (sumpit) dengan benar.

Bagi saya, kecintaan akan budaya negeri lain itu adalah sebuah cambuk untuk belajar lebih giat lagi mengenai budaya sendiri. Karena saya suka sekali dengan kain dan motif, tentu saja saya cinta mati dengan batik. Berhubung saya orang Jawa, maka akan sangat memalukan ketika saya tidak tahu kain tradisional suku Jawa dan lebih paham tentang kimono. Terkadang saking dekatnya dengan batik, kita tidak mau mempelajarinya, termasuk saya. Saya tidak tahu kalau kain batik motif pagi-sore itu tidak boleh diselimutkan ke jenazah karena mitosnya jika ada yang meninggal pagi hari dan diselimutkan dengan batik pagi-sore, sore harinya akan ada salah satu sanak keluarganya yang akan “ikut” meninggal.

Yah begitulah sekelumit cerita saya mengenai kecintaan saya terhadap Jepang. Bagaimanapun saya adalah orang Indonesia, dari suku Jawa, walaupun sekarang saya bersuamikan orang keturunan Cina, tapi saya sangat bersyukur bahwa suami saya Jawanya melebihi saya. Saya sungguh malu ketika suatu saat saya pernah bertanya “Sranta artinya apa sih?” kepada suami saya setelah dia bilang ke saya "Nek kowe gelem sranta ngenteni (kalau kamu mau sabar menunggu).". Sranta yang saya tahu adalah salah satu tokoh sinetron TVRI Jogja yang kaya akan filosofi budaya Jawa berjudul mBangun Deso. Dan saya baru tahu kalau sranta itu artinya sabar, sama persis dengan karakter Sranta dalam sinetron mBangun Deso :D

No comments:

Post a Comment

Thank you dear.. xoxo